Bukit
Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Dalam sejarah
Minangkabau dikenal adanya perjanjain Bukit Marapalam. Perjanjian ini
merupakan kesepakatan kalangan ulama dengan pemuka adat dalam menentukan kedudukan
agama dan adat bagi masyarakat. Materi kesepakatan ini hampir semua
penulis sejarah Minangkabau menyebut berkaitan dengan hubungan adat dan
agama dalam kehidupan masyarakat. Pembicaraan awal mempertemukan
kalangan adat dan ulama dirintis oleh Syekh Burhanuddin
bersama pemuka adat dari rantau. Buah dari kesepakatan Darek dan Rantau yang
dilalukan oleh Syekh Burhanuddin dengan beberapa penghulu menjadi titik
awal pembicaraan selanjutnya. Maka pada bulan Syafar tahun 1650M Syekh
Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari Bayang,Tuangku
Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir dan Tuangku
Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima Serangkai, dengan di
dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas yaitu:
(1)Amai
Said
(2)Rajo
Dihulu
(3)Rajo
Mangkuto
(4) Rajo
Sulaeman.
(5)PandukoMagek
6)TanBasa.
(7)MajoBasa.
(8)Malako
(9)Malakewi.
(10)Rangkayo Batuah
(11)Rajo Sampono
Menemui Basa Ampek Balai yang memegang
kendali pemerintahan alam Minangkabau dan memperkatakan (membincangkan)
agama (Syarak) dan adat. Mereka berangkat menemui Basa Ampek Balai atas
inistiaf dari Tuanku Padang Ganting dengan nasehat dari Tuan Qadhi Padang
Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak Pato (berasal dari
Fatwa atau Petuah) dengan di hadiri Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu
terkemuka di Luhak Nan Tigo. Pemilihan tempat ketinggian ini karena dari sini
dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau, bukit itu dinamakan
dengan Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Inilah
yang kemudian dikenal dengamn Perjanjian Bukit Marapalam . Piagam Bukit
Marapalam itu berbunyi:
" Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
Atas Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan ditempat ini
hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syarak yang akan menjadi
pegangan anak kemanakan ,hidup yang akan dipakai mati yang akan ditopang,bahwa
adat dan syarak akan dikukuhkan menjadi pegangan di alam Minangkabau ,dengan
ini kami sambil menyerahkan kepada Allah SWT sambil mengikuti kata Muhammad
SAW. Penghulu ka ganti Nabi, Rajo ka ganti Allah, kami mengikrarkan bahwa: Adaik basandi kapado syarak,syarak basandi
kapado kitabullah, syarak mengato adaik mamakai.(Adat bersendikan syarak,
syarak bersendi kitabullah, syarak (agama) menyatakan adat melaksanakan
Sagala
undang-undang adat dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau Luhak dan
Rantau, kampung dan nagari disesuaikan dengan tuntunan adat dan syarak( agama
Islam). Ikrar dan kesepakatan ini disampaikan oleh segala ulama dan penghulu
kepada rakyat di alam Minangkabau. Perjanjian dituliskan dibawahnya : Atas nama
Syarak Syekh Burhanuddin Ulakan dan atas nama kaum adat Basa Ampek Balai
Titah di Sungai Tarab dan disetujui oleh Raja Alam Yang dipertuankan di
Pagaruyung.
Setelah
selesai ikrar Bukit Marapalam lalu Basa Ampek Balai bersama Syekh Burhanuddin
dan rombongan minta pengesahan kepada Yang dipertuankan rajo alam Minangkabau
di Pagaruyung yang disaksikan oleh Rajo Adat dan Raja Ibadat. Dalam pertemuan
Bukit Marapalam itu juga dibicarakan sisa-sisa ajaran Syiah, sehinga dapat pula
kesepakatan bahwa agama Islam yang akan dikembangkan di Minangkabau adalah
menuruti Mazhab Imam Syafi’i, beritikad Ahlusunah waljmaah. Selanjutnya melalui
para Ulama dan Penghulu diaturlah adat dan syarak di Luhak dan nagari sesuai
dengan ajaran Islam, sesuai dengan hukum dan hak alam serta dinamika dan daya
cipta, rasa dan karsa manusia dalam membangun budaya. Kemudian sesuai
perkembangan waktu kelembagaan Rajo Tiga Selo berubah menjadi Tali Tigo Sapilin, Tungku Nan Tigo
Sajarangan yaitu Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Kelembagaan
Basa ampek Balai dituangkan lagi menjadi Urang
Ampek Jinih, jikalau di Mesjid dikenal dengan Imam, Khatib, Labai, dan
pegawai. Di suku dikenal Penghulu, Malin, labai, dubalang dan urangtua Jika
dinagari dilengkapi dengan empat yaitu: Balabuah,batapian,babalai dan ba
musajik
Sejak
dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalan oleh pemuka adat dan agama di
Minangkabau, maka dilakukan penyebaran kesepakatan ini oleh kedua belah
pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu dituangkan dalam filosofi adat
yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat :Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti
didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). Syarak mengato adaik mamakai, (Agama
Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya) Adaik buruk (jahiliyah dibuag,adaik yang baik (Islamiyah) dipakai(Maksudnya
adat yang baik sesuai dengan norma Islam harus dipertahankan sementara
adat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus dibuang.) Syarak dan adat itu bak aur jo tabing ,
sanda menyanda kaduonya (Antara adat dan agama itu layak aur dan tebing
yang saling memperkuat atau tidak ada antagonistik di dalam kedua filosofi
hidup ini). Disebut lagi dalam salah satu kaedah hukum Islam al’adatul muhkamah (Adat itu
menghukumi, artinya mempunyai kekuatan hukum). Syarak Mandaki adaik manurun, (Agama bersumber dari Ulakan
menuju pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, yang tempatnya Ulakan di
dataran rendah sedangkan Pagaruyung berada di dataran tinggi Minangkabau)
Inilah
bentuk final (Akhir) dari penyesuaian adat dan agama di Minangkabau yang
kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai
figur Ulama masa itu, dengan di dukung oleh tokoh-tokoh adat baik di rantau
maupun di Darek (Pusat) Minangkabau .Kesepakatan Bukit Marapalam
merupakan babak baru dari perjalanan kehidupan sosial budaya dan agama dalam
masyarakat Minangkabau, dan sekaligus menjadi starting point bagi Syekh
Burhanuddin dalam menyebarkan paham keagamaannya secara lebih luas dan
diterima oleh semua lapisan masyarakat di Minangkabau. Lebih penting lagi
perjanjian bukit marapalam juga puncak dari kompromi ideologis yang cukup
penting dalam sejarah intelektual pemuka adat dan agama, yang patut didalami
oleh generasi muda Minang di masa depan.
Di lain
pihak, ada pendapat yang menempatkan perjanjian Bukit Marapalam
sebagai pucak integrasi dan sintesis akhir dari konflik cultural,
baru terjadi pada abad ke 19 Masehi, yakni setelah berakhirnya Perang Paderi.
Telaah yang digunakan berangkat dari pendekatan budaya.” Corak Budaya
Minangkabau yang sintetik itu pada dasarnya bersifat universal. Jikok dibalun sabalun kuku, jika dikambang
saleba alam. Budaya aslinya bercermin kepada alam:Alam takambang jadi guru.
Alam terkembang seperti kita tahu, bukanlah sesuatu yang liar dan tak
beraturan, tetapi sebaliknya, sangat teratur dan tunduk kepada hukum-hukum
alam. Semua pepatah-petitih,pantun,bidal adat dan sebagainya, dengan mana
filsafat adat dialegorikan, sebelum Islam masuk ,bercermin kepada hukum alam
itu. Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan,karena hukum alam
itu ternyata adalah sunnatullah. Karenanya tidak ada satupun yang harus berbeda
dengan hukum alam takambang jadi guru pra Islam dengan sunnatullah itu. Inilah
sintetisme itu. Karena adat Minangkabau pada hakikatnya adalah ajaran budi, dan
budi pekerti, dia berada pada pelataran filsafat budi (ethical philosophy),
yang tujuannya adalah untuk menata prilaku - sosial maupun individual - agar
sesuai dengan hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, Islam tinggal menambahkan
unsur-unsur kepercayaan yang bersifat theologik-eskatalogik (Ketuhanan dan alam
akhirat) yang semuanya berpunca pada Keesaan dan Kemaha-Kuasaan Allah. Karena
filsafat budi tidak mengenal dan tidak bercampur dengan paham kosmologi
pra Islam yang berorentasi pada paham serba roh (Animisme dan dinamisme), maka
tidak ada yang harus dibersihkan dari filsafat budi itu. Bahwa Paderi dan
gerakan Reformasi selanjutnya yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan penggal
pertama abad 20 di Minangkabau bertujuan untuk memerangi khurafat, bid’ah dan
takhyul, syirik, bidikannya bukanlah pada ajaran adat yang berguru kepada alam
itu, tetapi kepada praktek -praktek heretek (menyimpang) pra Islam yang
tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam;
misalnya kebiasaan minum arak, berjudi, menyabung ayam, main perempuan,
berjampi-jampian, sihir dan sebagainya, yang semua itu sama sekali tidak
diajarkan oleh adat, bahkan dilarang. Dan praktek-praktek inilah yang diperangi
oleh gerakan Puritanisme Paderi dan gerakan pembaharuan gelombang-gelombang
berikutnya. Ini juga sintetisme, sehingga ajaran adat yang bersifat penghalusan
budi bersintesis dengan ajaran Islam yang bersifat lebih penghalusan budi,
tetapi yang sekarang dihubungkan dengan kepercayaan kepada Allah SWT serta
Muhammad Rasulullah SAW panutan utama akan kehalusan budi itu. Apa yang terjadi
sepanjang abad ke 19 dan tengah pertama abad ke 20 itu adalah sebuah proses
pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya yang datang dan yang
menanti.
Dalam
proses pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya ini kata
sepakat akhirnya dibuhul dengan perjanjian Bukit Marapalam,yang masih di abad
ke 19 sesudah Perang Paderi,yaitu dengan adigium :”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” Dari Adigium ini
terlihat dengan jelas bagaimana status dan jenjang hirarki antara adat, Syarak
dan Kitabullah. Ini pun diperkuat lagi dengan adigium-adigium penjelasan dan
pendampingnya, seperti ungkapan : Syarak
mengato adaik mamakai”,Syarak bertelanjang adaik basisamping,adat buruk
(jahliyah dibuang dan baik (Islamiyah) dipakai dan lainnya”Status dan
hirarkinya adalah demikian ,sehingga secara prinsip tidak mungkin ada benturan
antara adat dan syarak, yang diatasn ya adalah al-Qur’an kalimatul ‘ulya. Maka Al Qur’an dengan sendirinya adalah kontitusi
tertinggi bagi budaya dan masyarakat adat Minangkabau.
Sisi lain
yang patut juga dipahami bahwa Perjanjian Bukit Marapalam adalah
merupakan suatu mata rantai dari penyesuaian adat dan Islam di Minangkabau.
Amir Syarifuddin dalam Disertasinya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di
Minangkabau IAIN Jakarta
hal.328-51 menyimpulkan bahwa Penyesuaian adat dan Islam telah mengalami tiga
priode besar yaitu :
(1) Masa
di mana adat dan hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak
saling mempengaruhi, yang dimunculkan dalam pepatah adat " Adat Basandi Alur dan Patut, dan Syarak Basandi Dalil” ini adalah
masa-masa awal Islam di Minangkabau, di mana dominasi adat sangat begitu kuat
dan Islam belum lagi masuk ke dalam sistim sosial masyarakat.
(2) Priode
sama-sama dilakukan keduanya, artinya adat dan Islam telah masuk kedalam sistem
sosial masyarakat namun masih belum berpengaruh, karena ia baru saja
diterima oleh masyarakat dan nilai-nilai moral yang dibawa Islam sejalan
dengan pesan adat Minangkabau. Pepatah adatnya pada masa ini " Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat”.
(3) Priode ketiga lahir
sebagai buah dari ketidakpuasan diantara ulama terhadap gerakan Paderi yang
pada mula bertujuan untuk membersihkan agama dari pengaruh adat, kemudian
menjadi perebutan kekuasaan antara kaum agama dan kaum adat, sayang
kedua-duanya kalah dan Belanda berhasil memasuki Menangkabau. Puncak
ketidakpuasaan dua kelompok ini melahirkan akomodasi dan itu dituangkan dalam
Perjanjian Bukit Marapalam, sehingga melahirkan filosofi adat "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah”
Perbedaan
lahirnya Perjanjian Bukit Marapalam dapat ditarik suatu benang merah yang
tidak saling bertentangan. Melihat masa kehadiran Syekh Burhanuddin (Abad 17
Masehi) dan masa sesudah Paderi (abad 19 Masehi) ada jarak waktu
dua abad, tentu waktu yang cukup lama. Ini bisa saja dilihat dengan pendekatan
yang bersifat lebih luwes. Bukan tidak mungkin, Syekh Burhanuddin memang di
abad 17 itu telah melakukan perintisan awal dari upaya sintesis antara adat dan
agama ini. Upaya Syekh Burhanuddin bersama pemuka adat di Rantau menemui Basa
Ampek Balai untuk merundingkan hubungan adat dan agama ini adalah
merupakan modal awal bagi lahirnya piagam Bukit Marapalam yang jadi momentum
bersejarah dalam proses integrasi dan sintesis adat dan agama seperti
yang dikemukan Pakar Sosiologi dan Hukum Islam diatas diatas. Bisa juga
diinterpretasikan bahwa Perjanjian Bukit Marapalam pasca
Paderi (abad ke 19 ) adalah tindak lanjut dari Perjanjian Bukit Marapalam
pertama yang telah disponsori oleh Syekh Burhanuddin dulunya.
Argumen lain yang patut dipertimbangkan adalah jika Perjanjian Bukit Marapalam
itu baru sesudah Paderi, maka bagaimana mungkin Tambo adat alam
Minangkabau yang menjelaskan tentang pokok pembicaraan sebelum
perjanjian dibuat yang dikenal dengan 10 (sepuluh) landasan pokok dalam
penyesuaian adat dan syarak, 4(empat )jatuh pada adat, yaitu adat, istiadat,
nan diadatkan dan sabana adat dan 6 (enam) jatuh pada Pusako, yaitu: kalo-kalo,
baribu kalo, bajanjang naik, batanggo turun, hukum ijtihad dan undang-undang
permainan alam itu telah ditulis. Aturan adat itu ditulis
dengan huruf arab melayu. Penulisan huruf arab Melayu baru berkembang luas
setelah Islam menyebar melalui lembaga pendidikan Surau yang mula pertama di
rintis Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan
Ulakan. Kenyataan ini dapat menjadi indikasi bahwa Perjajian Bukit Marapalam
pertama itu telah terlaksana pada abad 17 berdasarkan dorongan dan
desakan Syekh Burhanuddin bersama-sama Pemuka adat dari rantau, Basa Ampek
Balai dan Penghulu-Penghulu di Luhak nan Tiga waktu itu.
Patut juga menjadi bahan renungan pemerhati kebudayaan Minangkabau bahwa
memilih antara data historis yang didukung oleh bukti ilmiah
dengan penuturan lisan oleh para pemuka adat dan cendikiawan adat
adalah sesuatu yang memerlukan kajian dan perenungan yang mendalam. Bukan tidak
mungkin kebiasaan berpikir "ilusif dan imajinatif” para pemangku adat itu ada benarnya
disamping tentu ada pula yang perlu dikritisi secara cermat. Kebangaan pada
sejarah masa lalu masih saja menjadi faktor penghambat menemukan
kejernihan sejarah sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan keberadaan Syekh
Burhanuddin dan perannya dalam pengembangan Islam atau Islamisasi Minangkabau
masih banyak data yang bersifat oral dan kalaupun sudah ditulis itu baru
sebatas cerita dari mulut ke mulut yang dapat juga melalui cerita lisan.
Kondisi seperti ini patut menjadi tantangan bagi peminat Sejarah Islam
Minangkabau untuk menguak hutan belantara keilmuaan yang demikian luasnya. Yang
pasti Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama pengembang Islam masa lalu
keberadaannya dalam peta pengembangan Islam di Minangkabau tidak perlu
diragukan lagi, karena bukti konkritnya dan kepercayaan masyarakat
terhadapnya (evidensi) dapat dijadikan pegangan. Lebih
dari itu, bagi Ulama , cendikiawan Islam dan pemuka adat Minangkabau
perlu menangkap semangat zaman bagaimana Adat dan Agama ini dapat
diwariskan dalam pengertian yang lebih rasional dan dan dapat
mendorong akselerasi (Percepatan) tumbuhnya generasi yang
berbasiskan pada "Adat dan Agama " sebagai identitas dirinya di era
moderen dan global yang berobah dan berkembang begitu cepat dan meluas.
Perjanjian
bukit marapalam itu adalah bentuk final dari persenyawaan adat dan
agama di alam Minangkabau. Meskipun tidak dapat dipungkuri bahwa
pemerintahan di Minangkabau diatur menurut dua
sistem, yaitu Sistem Koto Piliang dan Sistem
Bodi Caniago. Gagasan yang dituangkan oleh Datuk Katumanggungan
disebut laras Koto Piliang, sedangkan yang dituangkan atau
dititahkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang dikenal dengan laras
Bodi Caniago. Kedua kelarasan ini melahirkan
aturan-aturan (adat) yang menjadi way of life (pandangan
hidup) orang Minangkabau yang didasarkan kepada
ketentuan nyata yang terdapat dalam alam kehidupan dan
alam pikiran seperti yang ditemukan dalam pepatah "
alam takambang menjadi guru ". Sistim baru yang dilahirkan oleh
kesepakatan bersama diatas tidaklah merusak sistem yang telah mapan sebelumnya
ini. Akan tetapi, ia memperkokoh jalinan hubungan
yang erat antara lembaga keagamaan (surau) sebagai
pusat ibadat dengan kerajaan sebagai pusat kekuasaan menjadi
begitu kokoh dan satu dalam kehidupan sosial budaya ,seperti yang
diisyaratkan oleh pepatah " syara’ mangato adat mamakai” (agama
memberikan fatwa dan adat melaksanakannya), sehingga agama dan adat menjadi
identitas orang Minang. Akan sangat ‘aib jika orang Minang
dikatakan sebagai orang yang tidak beradat atau tidak beragama.
Buah dari
jalinan adat dan agama melahirkan tumbuhnya tradisi
surau, di mana masing-masing suku dari masing daerah di ranah Minang mempunyai
surau, bahkan a’ib jika bagi suatu suku dalam satu kampung yang tidak punya
surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus
sebagai tempat transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah lainnya. Ajaran yang
dikembangkan di surau pada umumnya berbau mistik, karena inilah
yang serasi dengan keadaan masyarakat, nama sufi seperti misalnya Ibn
‘Arabi dan al-Jilli, Hamzah Fansuri dan Abd. Rauf al-Sinkili adalah
tokoh yang dikenal luas dalam wacana keagamaan di surau. Demikian juga hanya di
surau telah di perkenalkan empat tarikat fase awal abad ke 17 M.
yaitu ; tarikat Qadariyah didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (w 1166 M),
Naqsyabandiyah, oleh Baha’al-Din (w 1388 M), Syattariyah oleh Abdul
Syattar (w 1415 M) dan Suhrawardi. Dari keempat tarikat tersebut, tarikat
Syatariyah mempunyai penganut banyak yang dalam dan luas, yang pada mula
bersumber dari Syekh Abd. Rauf, yang kelak mempunyai murid Syekh
Burhanuddin di Minangkabau.
Selain
melalui Tarekat, Islam telah dikembangkan juga melalui perkawinan. Pada umumnya
para pedagang Islam telah mempunyai perkampungan etnis sendiri, sehingga
mereka cenderung untuk tinggal lebih lama, sehingga ada mereka yang menikah
dengan penduduk setempat, terutama putri dari kalangan ningrat, sehingga
langkah ini menunjang tersebarnya Islam di Indonesia. Islam semakin berkembang
ke daerah pedalaman. Secara bertahap Islam mulai memberi pengaruh
terutama di kalangan struktur pemerintahan, seperti terlihat pada sistem
pemerintahan nagari. Tidaklah dapat dikatakan sebuah nagari bila tidak ada di
nagari tersebut 1. Masjid dan Balairung, 2. Bersawah dan berladang, 3.
Bertepian tempat mandi, 4. Berpasar dan bergelanggang.Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari mesti ada pula empat jinih (jenis)
yaitu ; a. Penghulu, b. Alim ulama, c. Manti dan d. Dubalang. Bila diperhatikan
tentang penggunaan istilah adat di Minangkabau, biasanya setiap nagari berdiri
dengan adatnya sendiri, laksana republik-repuplik kecil yang berhak mengatur
nagarinya dalam wilayah masing-masing. Pada umumnya setiap nagari di perintah
oleh seorang penghulu. Untuk kebesaran sebuah penghulu ia harus melengkapi
struktur pemerintahannya. Kalau penghulunya bergelar misalnya Datuk Malano,
maka pembantu di bidang agama bergelar dengan Malin Malano, Fakih Malano, Labai
Malano dan lain sebagainya. Semua gelar itu mereka dasari kepada bahasa-bahasa
Umat Islam (bahasa Arab).
Selain pengaruh di atas, terlihat lagi
dalam penulisan Tambo Adat Alam Minangkabau. Tulisan yang dipakai adalah
tulisan Arab Melayu. Tambo-tambo lama itu disalin dari tangan ketangan seperti
hikayat Syekh Jalaluddin yang diterbitkan di Belanda dengan judul Verheal
Padri-Onlusten op Sumatra tahun 1857 dan naskah tuangku Imam Bonjol oleh
Naali Sutan Caniago dengan judul Memorie Van Tuangku Imam Bonjol oleh De Stuerss
dan banyak lagi naskah Arab-Melayu lainnya. Di sini tergambar keterpaduan
antara adat dan Islam, terutama sekali dalam bidang kebudayaan. Sekaligus juga
sebagai bukti bahwa unsur-unsur Islam sangat relevan dengan masyarakat
Minangkabau. Hal itu tercermin semenjak orang Minangkabau menerima Islam
sebagai panutannya. Perpaduan itu lahir adalah setelah Islam intensif
berkembang di Minangkabau yaitu pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya.
Begitu erat dan kentalnya adat di
Minangkabau, sehingga antara adat dengan Islam sulit dipisahkan, sehingga lahir
pada mulanya istilah Adat Basandi
Syara’, Syara’ basandi Adat, dalam musyawarah Bukit Marapalam , lahirlah
perpaduan yang lebih tegas dan sempurna, yaitu : Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah. Selanjutnya
lebih nampak lagi dalam pepatah Minang, Syarak mengato adat memakai (antara adat dan Islam sejalan), atau
yang lebih tegas lagi adalah Syara’
bertilanjang, adat bersisamping ( ulama berbicara secara tegas dan tuntas,
sedangkan adat berbicara dengan kata kiasan.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, dan dibagikan !!!