JAKARTA - Pernyataan ahli bahasa
polisi yang menyebut Yulian Paonganan alias Ongen melanggar
Undang-undang (UU) Pornografi dan UU Informasi Transaksi Eletronik
(ITE) terbantahkan oleh Pakar Semiotika dari Universitas Tadulako Palu,
Dr Ferry Rita.
Dalam pernyataannya, Ferry Rita menilai kasus ini sebaiknya tidak dilanjutkan, karena jika makin melebar dan jadi malu kita semua orang Indonesia.
“Bukan hanya Ongen atau orang Sulawesi, tapi malu Indonesia juga,” ujar Ferry dalam siaran pers, Jakarta, Senin (18/4/2016).
Hal tersebut diminta setelah Ferry menganalisa dari sudut pandang semiotik. Secara simbolisasi, foto Nikita dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengandung unsur porno.
Baik dari sisi unsur kinesik, karena dalam foto tersebut sorotan mata biasa tidak ada lirikan mesra, gerakan tangan juga biasa, tidak ada raba-meraba, raut wajah sang artis tidak merona merah, gerakan tubuh normal tidak ada pelukan, atau rangkul-merangkul.
“Jadi tidak ada tanda-tanda atau fenomena yang dapat dikonotasikan bahwa mereka seperti orang lagi kasmaran, apalagi bersetubuh tidak terjadi,” tegasnya.
Kode responsorial yang dishare Ongen di Twitter kepada followersnya hanya suatu frase respons spontanitas semata-mata. Bahkan, di dalam kode-kode hashtag Yulian Paonganan terdapat decak kagum dan simpatik.
Sementara dari sisi ikonisasi maka bisa ditarik ke paha. Menurutnya, itu sebuah validitas tanda. Ikon pada paha Nikita bertato tidak representatif menimbulkan nafsu birahi. Bahkan sebaliknya, konteks kata ini memiliki nuansa pengertian semiosis yang jelas berbeda.
“Dalam pengertian ini terlalu gegabah untuk beranggapan bahwa‘Paha’ diakui sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘nafsu’ yang sama, ketika melihat ‘mulus’ wanita, atau ketika melihat paha ayam yang ‘montok’ dan ‘gurih’. Karena itu, ‘Paha’ tidak selalu dapat didefinisikan sebagai pembangkit ‘nafsu birahi’ atau ‘menerbitkan air liur’,” tegasnya.
Soal alat kelamin anak kecil, yang diunggah oleh Ongen menurut Ferry tidak masuk dalam kategori porno. “Jadi tuduhan itu dari sisi terminologi semiosis terbantahkan,” ungkapnya.
Dari sisi indeks yang menghubungkan jarak tempat duduk, tidak ada keakraban. Karena jarak antara papa dan Nikita sekitar 10-15 Cm. Disitu tidak ada keakraban, tidak ada kemesraan, apalagi yang untuk dikatakan bersetubuh.
“Ungkapan Ongen di-retweet berulang-ulang kali dan dishare kepada followersnya menunjukkan rasa kaget dan malu (ma-siri’) yang sangat dalam, tidak bisa menerima perlakuan seseorang yang mendampingi presiden hanya berpakaian seronok seperti itu dalam forum penonton bioskop.
“Jika bicara soal kultur, jangan samakan antara Jawa dengan Sulsel (Sulawesi Selatan). Karena di Sulsel, seorang pejabat publik harus punya tenggang rasa dan selalu menjaga jarak menurut tata krama yang dipahami oleh masing-masing tingkat dan golongan masyarakat," ungkapnya.
"Apalagi cara berpakaian sarat dengan etika dan estetika. Keluar dari tatanan kultur tersebut, maka yang terjadi adalah rasa Siri’ na Pacce!,” imbuhnya.
Ungkapan Yulian Paonganan lanjut Ferry yang berlatar belakang kultur Sulsel, tidak tega, lalu merespons secara spontanitas tatkala melihat foto seorang presiden, negarawan nomor satu di Indonesia, yang termulia. Seharusnya dijaga kehormatan dan martabatnya, serta dimuliakan.
Kemudian semena-mena dilecehkan oleh rakyatnya sendiri dalam sekejap dan hanya pada selembar foto duduk berdampingan dengan seorang perempuan yang hanya memakai celana pendek dan bertatto lagi(Impoliteness).
"Memperlihatkan aura sensitif kewanitaan kepada khalayak ramai masih dianggap tercela dan memalukan," tandasnya.
Dalam pernyataannya, Ferry Rita menilai kasus ini sebaiknya tidak dilanjutkan, karena jika makin melebar dan jadi malu kita semua orang Indonesia.
“Bukan hanya Ongen atau orang Sulawesi, tapi malu Indonesia juga,” ujar Ferry dalam siaran pers, Jakarta, Senin (18/4/2016).
Hal tersebut diminta setelah Ferry menganalisa dari sudut pandang semiotik. Secara simbolisasi, foto Nikita dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengandung unsur porno.
Baik dari sisi unsur kinesik, karena dalam foto tersebut sorotan mata biasa tidak ada lirikan mesra, gerakan tangan juga biasa, tidak ada raba-meraba, raut wajah sang artis tidak merona merah, gerakan tubuh normal tidak ada pelukan, atau rangkul-merangkul.
“Jadi tidak ada tanda-tanda atau fenomena yang dapat dikonotasikan bahwa mereka seperti orang lagi kasmaran, apalagi bersetubuh tidak terjadi,” tegasnya.
Kode responsorial yang dishare Ongen di Twitter kepada followersnya hanya suatu frase respons spontanitas semata-mata. Bahkan, di dalam kode-kode hashtag Yulian Paonganan terdapat decak kagum dan simpatik.
Sementara dari sisi ikonisasi maka bisa ditarik ke paha. Menurutnya, itu sebuah validitas tanda. Ikon pada paha Nikita bertato tidak representatif menimbulkan nafsu birahi. Bahkan sebaliknya, konteks kata ini memiliki nuansa pengertian semiosis yang jelas berbeda.
“Dalam pengertian ini terlalu gegabah untuk beranggapan bahwa‘Paha’ diakui sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘nafsu’ yang sama, ketika melihat ‘mulus’ wanita, atau ketika melihat paha ayam yang ‘montok’ dan ‘gurih’. Karena itu, ‘Paha’ tidak selalu dapat didefinisikan sebagai pembangkit ‘nafsu birahi’ atau ‘menerbitkan air liur’,” tegasnya.
Soal alat kelamin anak kecil, yang diunggah oleh Ongen menurut Ferry tidak masuk dalam kategori porno. “Jadi tuduhan itu dari sisi terminologi semiosis terbantahkan,” ungkapnya.
Dari sisi indeks yang menghubungkan jarak tempat duduk, tidak ada keakraban. Karena jarak antara papa dan Nikita sekitar 10-15 Cm. Disitu tidak ada keakraban, tidak ada kemesraan, apalagi yang untuk dikatakan bersetubuh.
“Ungkapan Ongen di-retweet berulang-ulang kali dan dishare kepada followersnya menunjukkan rasa kaget dan malu (ma-siri’) yang sangat dalam, tidak bisa menerima perlakuan seseorang yang mendampingi presiden hanya berpakaian seronok seperti itu dalam forum penonton bioskop.
“Jika bicara soal kultur, jangan samakan antara Jawa dengan Sulsel (Sulawesi Selatan). Karena di Sulsel, seorang pejabat publik harus punya tenggang rasa dan selalu menjaga jarak menurut tata krama yang dipahami oleh masing-masing tingkat dan golongan masyarakat," ungkapnya.
"Apalagi cara berpakaian sarat dengan etika dan estetika. Keluar dari tatanan kultur tersebut, maka yang terjadi adalah rasa Siri’ na Pacce!,” imbuhnya.
Ungkapan Yulian Paonganan lanjut Ferry yang berlatar belakang kultur Sulsel, tidak tega, lalu merespons secara spontanitas tatkala melihat foto seorang presiden, negarawan nomor satu di Indonesia, yang termulia. Seharusnya dijaga kehormatan dan martabatnya, serta dimuliakan.
Kemudian semena-mena dilecehkan oleh rakyatnya sendiri dalam sekejap dan hanya pada selembar foto duduk berdampingan dengan seorang perempuan yang hanya memakai celana pendek dan bertatto lagi(Impoliteness).
"Memperlihatkan aura sensitif kewanitaan kepada khalayak ramai masih dianggap tercela dan memalukan," tandasnya.
(maf)
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, dan dibagikan !!!