Ketika kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa
Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti
Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat
Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan warnanya adalah merah
putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah saw. yang juga berwarna merah
dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda :” Allah telah menundukkan pada
dunia, timur dan barat. Aku diberi pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar
dan Al-Abyadl, merah dan putih “. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak
akan bangsa ini mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan
bahasa ini bahasa pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa
jurnalistik.
Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin : 17)
Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban bagi kami hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin : 17)
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan
umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah
Portugis
Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan
semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel
(penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan menghalalkan semua
cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya terhadap bangsa Timur
(Islam) setelah usai Perang Salib . Dengan modal restu sakti dari Paus
Alexander VI dalam suatu dokumen bersejarah yang terkenal dengan nama
“Perjanjian Tordesillas” yang berisi, bahwa kekuasaan di dunia diserahkan
kepada dua rumpun bangsa: Spanyol dan Portugis. Dunia sebelah barat menjadi
milik Spanyol dan sebelah timur termasuk Indonesia menjadi milik Portugis.
Karena itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai negeri Zamrud Katulistiwa
yang penuh dengan rempah-rempah yang menggiurkan. Pertama mereka menyerang
Malaka dan menguasainya (1511 M), kemudian Samudra Pasai tahun 1521 M. Mulailah
mereka mengusik ketenangan berniaga di perairan nusantra yang saat itu banyak
para pedagang muslim dari Arab. Demikian pula para pedagang dari Demak dan
Malaka yang saat itu sudah terjalin sangat erat. Portugis nampaknya sengaja
ingin mematahkan hubungan Demak dan Malaka, dan sekaligus tujuannya ingin
merebut rempah-rempah yang merupakan komoditi penting saat itu. Banyak
kapal-kapal mereka dirampas oleh Portugis termasuk kapal pedagang muslim Arab.
Dengan sikapnya yang tak bersahabat dan arogan dari penjajah Portugis,
seluruh kerajaan yang ada di Nusantara kemudian melakukan perlawanan kepada
Portugis meskipun dalam waktu dan tempat yang berlainan. Kerajaan Aceh misalnya
sempat minta bantuan kerajaan Usmani di Turki dan negara-negara Islam lain di
Nusantara, sehingga dapat membangun kekuatan angkatan perangnya dan dapat
menahan serangan Portugis. Demikian pula, mendengar perlakuan Portugis yang
zalim terhadap para pedagang warga Demak muslim, Sultan Demak dan para wali
merasa terpanggil untuk berjihad. Halus dihadapi dengan halus, keras dilawan
dengan keras. Kalau orang-orang Portugis mengobarkan semangat Perang Salib,
maka Sultan Demak dan para wali mengobarkan semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka, tapi kali ini mengalami kegagalan karena persenjataan lawan begitu tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan tahun 1521 dengan mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan dakwah yang memanjang dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun perjuangannya tidak berhasil pula, bahkan ia gugur mati syahid dalam pertempuran tersebut. Sebab itulah ia mendapat gelar ”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran yang menyebrangi lautan di sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh Sultan Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan Prawoto. Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang untuk melawan dan mempertahankan diri dari serangan Portugis masih terus digalang. Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup membangun kekuatan militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000 kapal-kapal layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400 prajurit masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara dari serangan Portugis.
Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka, tapi kali ini mengalami kegagalan karena persenjataan lawan begitu tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan tahun 1521 dengan mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan dakwah yang memanjang dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun perjuangannya tidak berhasil pula, bahkan ia gugur mati syahid dalam pertempuran tersebut. Sebab itulah ia mendapat gelar ”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran yang menyebrangi lautan di sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh Sultan Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan Prawoto. Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang untuk melawan dan mempertahankan diri dari serangan Portugis masih terus digalang. Diberitakan, bahwa saat itu Demak masih sanggup membangun kekuatan militernya terutama angkatan lautnya yang terdiri dari 1000 kapal-kapal layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu mampu memuat 400 prajurit masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah Nusantara dari serangan Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di Malaka
mengalami kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta)
dan Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah panglima Fatahillah (menantu
Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun 1526 M. memimpin pasukan Demak menyerang
Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur laut. Mereka berhasil mengepung dan
merebutnya dari tangan penjajah Portugis, kemudian diganti namanya menjadi
Fathan Mubina diambil dari Quran Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina
diterjemahkan menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal
22 Juni 1527 M, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan Islam Ternate
dan Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga mereka dibawah
pimpinan Sultan Haerun berbalik melawan Portugis. Nampaknya yang menjadi
persoalan bukan hanya faktor perdagangan atau ekonomi, tapi juga persoalan
penyebaran agama oleh Portugis. Kristenisasi secara besar-besaran terutama pada
tahun 1546 dilakukan oleh seorang utusan Gereja Katolik Roma Fransiscus
Xaverius dengan sangat ekstrimnya ditengah-tengah penduduk muslim dan di depan
mata seorang Sultan Ternate yang sangat saleh, tentu saja membuat rakyat marah
dan bangkit melawan Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan Haerun dibunuh
secara licik oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat Ternate terus melanjutkan
perjuangannya melawan Portugis dibawah pimpinan Babullah, putra Sultan Haerun
selama empat tahun mereka berperang melawan Portugis, dan Alhamdulillah
berhasil mengusir penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah
Belanda
Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten
dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen
menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta menjadi
Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli
perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah
Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik maka Belanda menyebarkan
agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan
Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera),
pengerukan kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia
dalam keadaan miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka
wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama
dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan yang sederhana:
bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur habis-habisan melawan
orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah.
Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah
almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya
di Jogya menjelang akhir hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena
pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan
sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan
Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain :
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang
dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari
Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima
lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden
Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200
ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar
8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari
Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan terhadap
Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas).
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku
Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh misalnya
: Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro, Panglima
Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib Abdul
Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim bergerak melawan penjajah kafir
Belanda yang terkenal dengan perang Banjar, dibawah pimpinan Pangeran Antasari
yang didukung dan dilanjutkan oleh para mujahid lainnya seperti pangeran
Hidayat, Sultan Muhammad Seman (Putra pangeran Antasari), Demang Leman dari
Martapura, Temanggung Surapati dari Muara Teweh, Temanggung Antaludin dari
Kandangan, Temanggung Abdul jalil dari Amuntai, Temanggung Naro dari buruh
Bahino, Panglima Batur dari Muara Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari,
Haji Bayasin, Temanggung Macan Negara, dan lain-lain. Dalam perang Banjar ini sekitar
3000 serdadu Belanda tewas.
Di Maluku Umat Islam bergerak juga dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin,
Pangeran Neuku dan Said dari kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang belum diangkat namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku sejarah. Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad dengan tulus demi menegakkan dan membela Islam di tanah air.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang belum diangkat namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku sejarah. Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi keikhlasannya di hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad dengan tulus demi menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan
Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10
januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar,
Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5 Maret
1942.
Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diganti
oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut
buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih kejam dari penjajah manapun yang
pernah menduduki Indonesia. Seluruh kekayaan alam dikuras habis dibawa ke
negerinya. Bangsa Indonesia dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan
yang mengerikan seperti dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan
kedalam sumur, para wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex tentara
Jepang (Geisha).
Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim
dirinya sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu Nippon
Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka juga paham
bahwa bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam. Karena itu pada tanggal 13 Juli
1942 mereka mencoba menghidupkan kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)
yang telah terbentuk pada pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya
Jepang tidak banyak ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam
tidak mau kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan
bawah tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.
Selain itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi yang bersifat
politik atau yang membahayakan Jepang yang dibentuk semasa Belanda, kemudian
sebagai gantinya dibentuklah organisasi-organisasi baru misalnya Putera (Pusat
Tenaga Rakyat), Cuo Sangi In (Badan pengendali politik), Jawa Hokokai (Himpunan
Kebaktian Jawa), Seinendan, Fujinkai, Keibodan, Heiho, Peta dan lain-lain. Motif
utama dibentuknya organisasi-organisasi tersebut hanyalah sebagai kedok saja
yang ternyata untuk kepentingan penjajah Jepang juga. Namun bangsa kita sudah
cerdas justru organisasi-organisasi tersebut sebaliknya dimanfaatkannya untuk
melawan penjajah Jepang. Sebagai contoh adalah pembentukan tentara PETA
(Pembela Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943 di Bogor yang merupakan cikal
bakal adanya TNI.
Terbentuknya memang atas persetujuan penjajah Jepang yang didukung oleh
para alim ulama. Tercatat sebagai pendirinya adalah KH.Mas Mansur, Tuan Guru H.
Yacob, HM.Sodri, KH.Adnan, Tuan guru H.Kholid, KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim
Amrullah, H.Abdul Madjid dan U. Muchtar. Mereka betul-betul memanfaatkan PETA
ini untuk kepentingan perjuangan bangsa. PETA saat itu terdiri dari 68 batalion
yang masing-masing dipimpin oleh para alim ulama. Para Bintaranya adalah para
pemuda Islam, dan panji-panji tentara PETA adalah bulan bintang putih di atas
dasar merah. Tanggal 5 Oktober 1945 terbentuklah BKR (Barisan Keamanan Rakyat) yang
sebagian besar pimpinannya adalah berasal dari PETA. BKR kemudian menjadi TKR
dan selanjutnya TNI. Jadi TNI tidak mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68
bataliyon yang dipimpin oleh para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi bentukan Jepang yang sangat kentara
merugikan dan bahkan berbuat aniaya terhadap bangsa Indonesia. Misalnya melalui
Jawa Hokokai rakyat secara paksa untuk mengumpulkan padi, permata, besi tua
serta menanam jarak yang hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah pendudukan
Jepang, pelecehan, penghinaan terhadap agama Islam dan umat Islam sudah
terang-terang. Maka umat Islam di berbagai daerah bangkit menentang penjajah
Jepang, diantaranya:
a.
Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan ini dipimpin
oleh seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, guru ngaji di Cot Pileng
pada tanggal 10 November 1942. Sebabnya karena tentara Jepang melakukan
penghinaan terhadap umat Islam Aceh dengan membakar masjid dan membunuh
sebagian jamaah yang sedang salat subuh.
b.
Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan ini dipimpin
oleh KH. Zaenal Mustafa, pemimpin pondok pesantren di Sukamanah Singaparna
Tasik Malaya pada tanggal 25 februari 1944. Penyebabnya karena para santrinya
dipaksa untuk melakukan Seikirei, menghormat kepada kaisar Jepang dengan cara
membungkukkan setengah badan ke arah matahari. Ini tentu saja pelanggaran
aqidah Islam.
c.
Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin
oleh H. Madriyas. Sebabnya karena rakyat tidak tahan terhadap kekejaman yang
dilakukan tentara Jepang.
d.
Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin
oleh Teuku Hamid pada bulan November 1944.
e.
Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan ini dipimpin
oleh seorang komandan Pleton PETA yang bernama Supriadi pada tahun 14 Februari
1945 di Blitar, karena mereka tidak tahan melihat kesengsaraan rakyat di daerah
dan banyak rakyat yang korban karena dikerjapaksakan (Romusha).
4.
Sekutu dan NICA
Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan
Indonesia baru saja diproklamirkan, tanggal 15 september 1945 datang lagi
persoalan baru, yaitu datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA (Nederland
Indies Civil Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan
seolah-olah paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya.
Kedatangan mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia.
Seluruh umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan
tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan
terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran
arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah Jendral
Sudirman nama yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Beliau sebagai
panglima besar TNI berlatar belakang santri. Pernah jadi da’i atau guru agama
di daerah Cilacap Banyumas sekitar tahun 1936-1942. Berkarir mulai dari
kepanduan Hizbul Wathan dan aktif dalam pengajian-pengajian yang diadakan oleh
Muhammadiyah. Beliau pada sebagian hidupnya adalah untuk berjuang, dan bahkan
dalam kondisi sakit sekalipun beliau terus memimpin perang gerilya ke
hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran arek-arek Surabaya
dipimpin oleh Bung Tomo. Dengan kumandang takbir, beliau mengobarkan semangat
berjihad melawan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Karena dahsyatnya pertempuran tersebut, maka tanggal tersebut dikenang sebagai
hari pahlawan. Beliau tercatat pula dalam sejarah sebagai arsitek bom syahid.
Dalam kurun waktu perjuangan tahun 1945–1949 beliau membentuk pasukan berani
mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya untuk
menghancurkan tentara sekutu dan Belanda.
Bandung
lautan api adalah pertempuran dahsyat di Bandung Utara, kemudian di Bandung
Selatan dibawah pimpinan Muhammad Toha dan Ramadhan sumber : bagi.co.vu
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar, dan dibagikan !!!